Aku masih ingat saat pertama kali aku dikenalkan ke dunia sastra yang amat menakjubkan ini. Aku masih berumur sepuluh tahun kala itu. Amat kecil dengan ilmu yang tak sampai senggenggam beras, namun uniknya tidak punya rasa takut sebesar saat aku telah mencapai quarter life crisis di usia awal dua puluhan seperti sekarang.
Guru Bahasa Indonesiaku, Bu Niram namanya. Dengan semangat yang membara membacakan sebuah puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul “Cita-Cita” di depan kelas. Di hadapan seluruh siswa ia lantunkan satu per satu kata yang tersusun dengan rima dan irama yang bagi diriku yang kecil menjadi sebuah pengetahuan baru yang menggugah lembut ketahanan hatiku yang kecil pula.
“Setelah punya rumah, apa cita-citamu?” dengan suara memberat Bu Niram lantunkan kalimat demi kalimat yang terangkai di dalam puisi itu. Telingaku seakan menajam saat menangkap tiap makna dari balik keindahan sebuah puisi fenomenal karya Joko Pinurbo itu. Lantas dengan rasa penasaran seorang anak yang menginginkan permen, seusai kelas aku kunjungi ruang guru khusus untuk menemui Bu Niram. Beruntungnya ia masih sibuk mengemasi setumpuk kertas ulangan dan belum pulang.
Aku menyambanginya dengan langkah bergembira. Ku pilin pelan suaraku yang kekanakan, memanggilnya dengan penuh keinginan.